Jumat, 30 Mei 2014

SISTEM PANEN HUJAN (PENGELOLAAN AIR HUJAN)

              Tugas Perkuliahan Pengetahuan Lingkungan (UnPal 2014)

Sistem Panen Hujan
Irwansyah Putra



Hujan adalah anugerah tuhan yang selalu dikirim ke permukaan bumi. Hujan dapat terjadi di daratan, di laut, di gunung, di kutub atau di mana saja di permukaan bumi.  Tetapi jika lingkungan sebagai “penampung alami” rusak maka hujan akan menjadi masalah, bukan lagi rahmat. Banjir di daerah perkotaan dan longsor di daerah bergunung sejak lama selalu. Jakarta dan kota-kota besar lainnya selalu jadi langganan banjir. Banjir yang terjadi secara sederhana karena saluran pembuangan yang buruk dan sedikitnya drainese serta semakin berkurangnya ruang terbuka hijau. Secara rumitnya, banjir merupakan kiriman air yang banyak dari hulu sungai, pasang naik air laut, ambrolnya bendungan atau danau buatan dan sebagainya. Di musim hujan kita seperti kelebihan air, sangat klise dengan apa yang terjadi di musim kemarau kita kekurangan air.

Air adalah sumber kehidupan, tapi terlalu banyak atau terlalu sedikit air akan menjadi ancaman terhadap kehidupan. Bisakah kita “menabung” air hujan untuk dipanen di kemudian hari? Mengapa kita tidak panen air hujan secara langsung atau tidak langsung. Tulisan ini mencoba mengupas bagaimana mengelola air hujan.

Sistem pemanfaatan air hujan

Dengan semakin padatnya penduduk, keperluan terhadap air menjadi semakin meningkat. Seiring dengan itu, dari waktu ke waktu kondisi permukaan air tanah semakin menurun. Dampak penurunan muka air tanah ini bukan tanpa masalah. Buruknya kualitas air yang kita konsumsi merupakan salah satu akibat. Apalagi bagi daerah yang mempunyai ketinggian rendah, seperti pesisir pantai. Akan mendorong terjadinya penyusupan (intrusi) air laut sehingga air tanah akan berasa payau karena tercampur oleh air laut yang mempunyai kadar garam yang tinggi. Akibat yang lebih parah adalah amblasnya permukaan tanah (land subsidence) dan menurunkan daya dukung kota. Amblasnya permukaan tanah ini salah satu sebabnya adalah menurunnya muka air tanah sebagai akibat tidak direchargenya air tanah dengan air hujan atau dapat juga karena pemakaian air tanah secara berlebihan. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi keberadaan bangunan-bangunan tinggi dan prasarana kota.

Ironisnya, di tengah kesulitan air tersebut hujan yang melimpah umumnya dibiarkan saja terbuang. Hanya sedikit dari masyarakat yang mau memanfaatkannya. Padahal jika air hujan mau dimanfaatkan, hampir sebagian kebutuhan air dapat ditanggulangi. Seperti untuk mencuci, mandi, wc, menyiram tanaman, mencuci kendaraan dan lain-lain. Air hujan yang terbuang itu ternyata menyebabkan banjir, rusaknya harta benda dan hanyutnya harta dan hilangnya nyawa banyak orang.

Ada suatu teknologi dimana air hujan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari akan air. Teknologi ini pernah dimanfaatkan oleh penulis (Supli Rahim). Teknologi ini merupakan upaya untuk memanen hujan di rumah dan halaman rumah. Lihat video berikut.

http://www.youtube.com/watch?v=43t8bFztUuA

Secara sederhana sistem teknologi ini meliputi sistem pengumpulan, penyimpanan dan pemanfaatan hujan. Penampungan hujan dilakukan dengan membuat bak-bak (tandon) penampungan. Pengoperasian sistem dilakukan dengan sistem pemipaan secara khusus. Teknologi pemanfaatan hujan ini disusun berdasarkan fungsi-fungsi seperti pengumpulan hujan, penyimpanan hujan, penentuan syarat hujan, pendistribusian, pengaliran hujan yang berlebih dan pengisian bak penampungan di musim kering.
Dengan teknologi pemanfaatan hujan ini, masyarakat dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan airnya. Yang tidak kalah penting adalah menjaga kelestarian sirkulasi air alami, serta menciptakan keharmonisan antara penataan lingkungan perkotaan dan curah hujan.
Menurut perhitungan dari Rahim (2008), jika misalnya satu buah rumah di suatu kota dengan luas atapnya rata-rata 300 m2 dengan halaman 1100 m2 dan curah hujan turun 3000 mm/tahun, maka potensi simpanan air adalah 1400m2/rumah x 3 m/tahun. Artinya, akan ada 4200  m3 air hujan per tahun. Bayangkan, berarti untuk kota Palembang yang luasnya mencapai 40.000 ha maka dengan asumsi jumlah air hujan yang bisa ditampung hanya 10 persen saja maka jumlah air hujan yang tertampung itu adalah 40.000 x 10.000 x 0,1 x 3 m = 120 juta m3. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari produksi PDAM Tirta Musi Palembang,

Namun, sayangnya teknologi ini belum banyak dilirik masyarakat. Hal ini karena sedikitnya informasi tentang pemanfaatan air hujan serta tidak lepas dari persepsi masyarakat tentang hujan. Misalnya sebagian masyarakat menganggap bahwa hujan tidak dapat digunakan untuk minum, sehingga mereka menolak untuk memanfaatkannya. Yang kedua, masyarakat belum atau tidak terbiasa menggunakan hujan sebagai sumber air bersih untuk kegunaan selain air minum. Bersamaan dengan itu, di kalangan perencanaan bangunan dan kebijakan juga masih menganggap bahwa hujan tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber penyediaan air karena teknologinya belum mereka ketahui.

Coba bayangkan, kalau saja rumah tinggal, kompleks perumahan, tempat ibadah, gedung-gedung perkantoran, taman dan jalan-jalan perkotaan dimanfaatkan untuk dibuatkan teknologi pemanfaatan hujan. Setidaknya dapat menjadikan masalah air di tahun-tahun mendatang dapat diatasi. Sebab, di era pembangunan saat ini, kota-kota di Indonesia termasuk dalam kategori daerah kekurangan air dalam batas ambang kebutuhan. Dalam pengertian ini, daerah perkotaan akan selalu dilanda kekeringan di musim kemarau. Jika sudah begini, jadilah air seharga logam mulia bahkan lebih mahal lagi. Kapan kita bisa menyadari ini?

Sumber  :
Prof Supli Effendi Rahim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar